Salto ChurĂșn MerĂș. Djarum bikin jengkel Sofyan Djalil. Barangkali. Raksasa penjaja nikotin, kalau di AS disebut sebagai merchant of death asal Kudus itu selalu merancang iklan-iklannya dengan menghadirkan panorama eksotik dari luar Indonesia. Misalnya konon di Torres de Paine, atau Menara Paine, yang merupakan gunung granit spektakuler di Patagonia, bagian selatan Chile. Atau harus syuting di air terjun Angel Falls, di negara bagian Bolivar, bagian tenggara negara Venezuela.
Air terjun tertinggi di dunia dengan keterjalan 979 meter dan lebar 150 m yang memiliki nama Spanyol sebagai Salto Angel atau bahasa setempatnya Salto ChurĂșn MerĂș, memang memesona. Kita lihat adegan tiga anak muda melakukan penerjunan dari puncak datarannya yang disebut sebagai AuyĂĄn-TepuĂ, atau Gunung Setan, untuk menanamkan citra rokok kretek itu sebagai kenikmatan dalam melakukan petualangan bagi para konsumennya.
Kini, selamat tinggal Angel Falls. Sofyan Djalil sebagai Menkominfo, sebelum dimutasikan sebagai Menteri Negara BUMN, telah memutuskan bahwa “iklan-iklan harus dibuat oleh orang Indonesia, dengan artis orang Indonesia, juga harus diambil gambarnya di Indonesia pula, agar bisa tertayang di televisi-televisi Indonesia.”
Apakah seorang Sofyan Djalil saat itu sedang “kerasukan” roh pandangan hidup nasionalistis model Bung Karno, Evo Morales atau Hugo Chavez ? Bagaimana kira-kira orang iklan Indonesia menyikapi datangnya rejeki nomplok, windfalls ini ? Saya akan menunggu datangnya majalah gaya hidup orang iklan, AdDiction, di mana atas kebaikan hati pemimpin redaksinya yang juga seorang blogger andalan, Totot “Pakde” Indrarto, saya memperoleh kiriman gratis darinya. Apakah AdDiction akan juga membincangkan dampak durian runtuh dari Sofyan Djalil ini ?
Kaum Pembujuk Tersembunyi. Saya bukan orang iklan. Bahkan konon untuk orang seumur 50+ seperti saya, oleh orang-orang industri periklanan sudah dianggap tidak ada. Sudah almarhum. Karena konon sudah tidak ada lagi barang-barang konsumsi dan jasa yang pantas atau cocok untuk dirayu-rayukan kepada generasi kohor seperti diri saya saat ini.
Tetapi saya pernah bercita-cita menjadi orang iklan. Maklum, ketika masih muda, di tahun 1980-an, mudah muncul dorongan untuk mengeksplorasi pilihan pekerjaan. Ketika skripsi saya macet, gatal mencari-cari pelarian, saya melamar sebagai penulis naskah iklan. Dalam surat lamaran, dengan meminjam judul buku terkenalnya sosiolog Vance Packard, saya memosisikan diri saya untuk siap bergabung dengan mereka sebagai the hidden persuaders, kaum pembujuk tersembunyi.
Ketika dipanggil untuk wawancara, saya datang memakai kaos, dan baru tahu bahwa biro iklan InterVista tersebut merupakan afiliasi dari Dentsu, biro iklan raksasa asal Negeri Matahari Terbit. Pada dinding kantornya di Pancoran, Jakarta, nampak karya-karya iklan yang menjual mobil-mobil Toyota. Ketika jadwal wawancara kedua tiba, saya memutuskan untuk tidak datang. Saya memutuskan untuk menyelesaikan sekolah dulu.
Sejak itu saya tidak ada niat yang kuat untuk menerjuni dunia periklanan. Walau pun demikian tetap tertarik membaca-baca tentang dunia iklan. Artikel saya berjudul “Ketika Orang Iklan Ketinggalan Internet” pernah muncul di majalah AdDiction No.3/6/2006 (foto). Terakhir, menaruh minat mengenai transmedia untuk periklanan dengan pionir Henry Jenkins yang direktur Program Kajian Media Komparatif dari MIT.
Pernah muncul gagasan sekilas untuk meluncurkan iklan-iklan ucapan selamat secara keroyokan di koran, tetapi ketika menelpon bagian iklan koran-koran tersebut muncul penghalang. Harus dulu menjadi mitra mereka. Harus terlebih dahulu sebagai badan usaha. Ekonomi periklanan di media yang mengusung jurnalisme pohon mati, media cetak dan pula media-media lama lainnya, memang tidak terbuka aksesnya secara egaliter untuk semua orang.
Tetapi kini, di era digital ini, semuanya berubah. Digital turns everything upside down. Lanskap dunia periklanan pun berubah secara revolusioner. Antara lain, kita-kita ini, individu yang orang-orang biasa ini, termasuk kaum epistoholik,, berpeluang ikut sebagai pelaku guna menikmati kue-kue ekonomi periklanan secara global.
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 45/Mei 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Air terjun tertinggi di dunia dengan keterjalan 979 meter dan lebar 150 m yang memiliki nama Spanyol sebagai Salto Angel atau bahasa setempatnya Salto ChurĂșn MerĂș, memang memesona. Kita lihat adegan tiga anak muda melakukan penerjunan dari puncak datarannya yang disebut sebagai AuyĂĄn-TepuĂ, atau Gunung Setan, untuk menanamkan citra rokok kretek itu sebagai kenikmatan dalam melakukan petualangan bagi para konsumennya.
Kini, selamat tinggal Angel Falls. Sofyan Djalil sebagai Menkominfo, sebelum dimutasikan sebagai Menteri Negara BUMN, telah memutuskan bahwa “iklan-iklan harus dibuat oleh orang Indonesia, dengan artis orang Indonesia, juga harus diambil gambarnya di Indonesia pula, agar bisa tertayang di televisi-televisi Indonesia.”
Apakah seorang Sofyan Djalil saat itu sedang “kerasukan” roh pandangan hidup nasionalistis model Bung Karno, Evo Morales atau Hugo Chavez ? Bagaimana kira-kira orang iklan Indonesia menyikapi datangnya rejeki nomplok, windfalls ini ? Saya akan menunggu datangnya majalah gaya hidup orang iklan, AdDiction, di mana atas kebaikan hati pemimpin redaksinya yang juga seorang blogger andalan, Totot “Pakde” Indrarto, saya memperoleh kiriman gratis darinya. Apakah AdDiction akan juga membincangkan dampak durian runtuh dari Sofyan Djalil ini ?
Kaum Pembujuk Tersembunyi. Saya bukan orang iklan. Bahkan konon untuk orang seumur 50+ seperti saya, oleh orang-orang industri periklanan sudah dianggap tidak ada. Sudah almarhum. Karena konon sudah tidak ada lagi barang-barang konsumsi dan jasa yang pantas atau cocok untuk dirayu-rayukan kepada generasi kohor seperti diri saya saat ini.
Tetapi saya pernah bercita-cita menjadi orang iklan. Maklum, ketika masih muda, di tahun 1980-an, mudah muncul dorongan untuk mengeksplorasi pilihan pekerjaan. Ketika skripsi saya macet, gatal mencari-cari pelarian, saya melamar sebagai penulis naskah iklan. Dalam surat lamaran, dengan meminjam judul buku terkenalnya sosiolog Vance Packard, saya memosisikan diri saya untuk siap bergabung dengan mereka sebagai the hidden persuaders, kaum pembujuk tersembunyi.
Ketika dipanggil untuk wawancara, saya datang memakai kaos, dan baru tahu bahwa biro iklan InterVista tersebut merupakan afiliasi dari Dentsu, biro iklan raksasa asal Negeri Matahari Terbit. Pada dinding kantornya di Pancoran, Jakarta, nampak karya-karya iklan yang menjual mobil-mobil Toyota. Ketika jadwal wawancara kedua tiba, saya memutuskan untuk tidak datang. Saya memutuskan untuk menyelesaikan sekolah dulu.
Sejak itu saya tidak ada niat yang kuat untuk menerjuni dunia periklanan. Walau pun demikian tetap tertarik membaca-baca tentang dunia iklan. Artikel saya berjudul “Ketika Orang Iklan Ketinggalan Internet” pernah muncul di majalah AdDiction No.3/6/2006 (foto). Terakhir, menaruh minat mengenai transmedia untuk periklanan dengan pionir Henry Jenkins yang direktur Program Kajian Media Komparatif dari MIT.
Pernah muncul gagasan sekilas untuk meluncurkan iklan-iklan ucapan selamat secara keroyokan di koran, tetapi ketika menelpon bagian iklan koran-koran tersebut muncul penghalang. Harus dulu menjadi mitra mereka. Harus terlebih dahulu sebagai badan usaha. Ekonomi periklanan di media yang mengusung jurnalisme pohon mati, media cetak dan pula media-media lama lainnya, memang tidak terbuka aksesnya secara egaliter untuk semua orang.
Tetapi kini, di era digital ini, semuanya berubah. Digital turns everything upside down. Lanskap dunia periklanan pun berubah secara revolusioner. Antara lain, kita-kita ini, individu yang orang-orang biasa ini, termasuk kaum epistoholik,, berpeluang ikut sebagai pelaku guna menikmati kue-kue ekonomi periklanan secara global.
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 45/Mei 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
"Widgetization" Iklan dan Peluang Bisnis Kaum Epistoholik (bag-1)
Reviewed by Ek4zone
on
Kamis, Januari 29, 2009
Rating:
Tidak ada komentar: