Translate

banner image

Ketika Tribune Co. Bangkrut

Politik burung unta. Pemimpin redaksi koran lokal pulang larut malam. Ia naik sepeda dan memboncengkan teman sekerjanya, redaktur pelaksana. Di tengah perjalanan mereka memergoki sebuah rumah yang agak ramai dikerubungi warga setempat. Ternyata si empunya rumah itu meninggal dunia. Kedua awak koran itu berseru pelan, hampir bersamaan : “Semoga bukan pelanggan koran kita.”

Beberapa puluh tahun kemudian, keduanya mungkin akan berseru dengan kalimat yang sama bila memergoki anak-anak muda sedang membeli komputer. Apakah mereka akan berseru seperti itu pula bila mereka bisa hadir di tengah keriuhan para blogger dalam Pesta Blogger 2008, 22 November 2008 di Jakarta yang lalu ?

Cerita di atas memang fiksi. Tetapi lanskap habitat media yang sudah berubah bukan fiksi. Tetapi mungkin karena balutan rasa percaya diri yang tinggi untuk menutupi rasa kuatirnya, atau karena ignoransi, masih saja ditemui pengelola media cetak yang berlabel sebagai mainstream media itu, yang sering diplesetkan sebagai lamestream media, media yang lamban, tidak mampu melihat revolusi yang sedang terjadi.

Atau tidak mau melihatnya. Mereka lebih suka berlaku seperti burung unta: dengan membenamkan kepalanya ke dalam tanah, maka persoalan sudah dianggap selesai dan berlalu.

Suara percaya diri itu terdengar dari Bali. Dalam Seminar Nasional AJI yang bertema Pers Indonesia Menyongsong Era New Media (27/11/2008), CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, mengatakan seperti dikutip Kompas (28/11/2008 : 13) antara lain bahwa setiap kelahiran media baru selalu diikuti kecemasan akan mengancam bahkan mematikan media sebelumnya.

Diakui, media online dewasa ini memang sedang menunjukkan kecenderungan peningkatan. Namun, kecenderungan itu tidak berarti akan melenyapkan media cetak. “Untuk menghadapi kecenderungan itu media cetak dituntut untuk kreatif dalam pengayaan kontennya serta berafiliasi dengan media online,” tuturnya.


Bergelut cari solusi.Pengayaan konten itulah yang kini mudah ditemui pada pelbagai media cetak di Indonesia. Misalnya, untuk berusaha merenggut para pembaca muda, maka halaman-halaman khusus untuk para pelajar dan mahasiswa telah pula mereka sediakan. Demikian pula halaman khusus untuk kaum perempuan, para guru, liputan tentang hobi atau komunitas tertentu.

Pengayaan semacam itu segera menimbulkan wabah ikut-ikutan, me too product, yang segera menular dan ditiru oleh media-media lainnya. Bahkan tidak jarang, untuk merekatkan ikatan, koran pun menjadi event organizer guna menyelenggarakan pertemuan bagi para pembacanya.

Ikhtiar dan kreativitas itu pantas dipuji. Tetapi sejarah masa depan berkehendak lain. Ancaman media-media baru terhadap koran pada jaman yang lewat, misalnya radio, film sampai televisi, jelas tidak sama dengan ancaman Internet terhadap surat kabar dewasa ini. Meminjam isi laporan tahunan dari New Directions for News 2003 diungkapkan, “Jurnalisme menemukan dirinya dalam momen langka dalam sejarah…hegemoninya sebagai penjaga gawang berita terancam tidak hanya oleh teknologi baru dan para pesaing, tetapi terancam secara potensial oleh pembaca yang mereka layani.”

Imajinasi para pengelola Jurnalisme Besar tak pernah memperkirakan ancaman semacam ini. Apalagi yang lebih menakutkan dibanding ancaman yang satu ini ? Dengan sarana penerbitan online yang mudah dioperasikan, seperti blog, tersedianya fasilitas koneksi yang terus-menerus tersambung dan sarana komunikasi mobil yang semakin andal, pembaca online dewasa ini serta merta mampu menjadi partisipan aktif dalam mengkreasi dan menyebarkan berita dan informasi.

Tidak salah bila dalam melukiskan gambaran mengenai budaya masa depan, futurolog John Naisbitt dalam Mind Set!: Reset Your Thinking and See the Future (2006), menuliskan kematian perlahan budaya surat kabar sebagai pokok bahasan yang paling pertama.

“Sirkulasi surat kabar sudah turun selama bertahun-tahun. Pada 1960-an, empat di antara lima orang Amerika membaca suratkabar setiap pagi. Sekarang hanya setengah orang Amerika yang melakukannya,” tegasnya. Di lain fihak ia mengungkapkan bahwa surat kabar gratis semakin mantap dan Internet menyedot pembaca sehingga beralih.

“Yang sedang kita saksikan adalah kematian perlahan budaya surat kabar, yang ada hubungannya dengan nilai penting suratkabar dalam kehidupan kita. Aspek kehidupan kita ini jelas-jelas memudar dan mengalami penurunan arti penting. Lalu, saat arti penting surat kabar bagi kehidupan kita semakin berkurang, apa yang terjadi pada perusahaan surat kabar menjadi kurang menarik,“ simpul Naisbitt.

Domino itu sekarang benar-benar mulai jatuh. Ketika suara percaya diri dari Bali itu belum menguap, harian Kompas (13/12/2008) mewartakan mengenai kelompok penerbit surat kabar besar di Amerika Serikat, yaitu Tribune Co., yang menyatakan diri bangkrut karena dililit utang. Mereka pun dikhawatirkan bukan sebagai korban yang terakhir. Dalam berita itu hanya disebutkan secara selintas bahwa penyebab terancam ambruknya koran-koran di AS itu akibat merosotnya pemasukan iklan dan berpindahnya pembaca ke Internet.

Di halaman lain koran itu juga mewartakan mengenai majalah Newsweek yang akan berubah wajah. Akibat pelambatan ekonomi global, majalah ini juga akan mengurangi jumlah eksemplar hingga sekitar 1 juta, dari angka semula 2,6 juta eksemplar setiap terbitnya. Kebijaksanaan lainnya adalah pengurangan jumlah karyawan mereka. Hal serupa juga akan dilakukan manajemen majalah Time, sementara majalah US News & World Report dikabarkan akan lebih fokus pada Internet.

Geliat pelbagai media itu, seperti juga halnya yang dilakukan surat-surat kabar Indonesia, merupakan cerminan upaya mereka dalam mencari-cari solusi. Berusaha memecahkan masalah. Orientasi yang mungkin nampak benar itu sebenarnya merupakan pendekatan yang keblinger. Memecahkan masalah merupakan pergulatan yang justru terkait dengan sisi kelemahan mereka. Sementara itu Naisbitt mengingatkan, “Anda tidak akan mendapatkan hasil dengan memecahkan masalah, melainkan dengan memanfaatkan peluang.”


Surat kabar gratis. Peluang bagi media di masa depan itu menurut saya, antara lain, terdapat dalam penerbitan koran gratis dan sinergi dalam mengeksploitasi secara kreatif kedigdayaan Internet. Surat kabar di masa depan mungkin memang tidak lenyap. Tetapi bentuk, isi dan cara memperolehnya tidak akan sama lagi seperti yang kita dapati sekarang ini.

Surat kabar itu gratis. Visi koran gratis ini pernah saya tulis di kolom surat pembaca harian Suara Merdeka setahun lalu ( 7/12/2007). Bahkan pernah juga saya ajukan kepada pimpinan puncak kelompok bisnis surat kabar terkemuka di Jawa Tengah. Topik itu justru yang menjadi penyebab, dugaan saya, mengapa diskusi antara kita tersebut langsung ia hentikan. Usulan saya itu nampaknya memang mengoyak zona nyaman media cetak yang ngotot sebisanya untuk terus ingin bertahan.

Pada hal koran gratis juga membuka peluang-peluang baru. Utamanya dalam memenangkan tambang emas masa depan : lokalitas. Isi koran gratis itu nanti tak ubahnya isi majalah TV Guide dewasa ini, yang berisi data acara televisi dan ratusan saluran situs atau blog di Internet. Isi dan penyebarannya pun sangat lokal, hyper local. Konsiderans ini vital karena perusahaan media masa depan harus memvisikan medianya tak lain sebagai utilitas informasi dan koneksi untuk lingkungan setempat yang benar-benar lokal.

Merujuk skenario masa depan semacam itu, jadi sungguh lucu bila menurut saya, ketika mengikuti strategi Internet yang dikembangkan, misalnya oleh kelompok Kompas-Gramedia dewasa ini. Mereka justru berupaya membesarkan mega portalnya di Internet, dengan melebarkan sayap dengan meluncurkan pelbagai saluran. Dari merengkuh para selebritis sampai kalangan pelajar. Nampaknya, upaya ini dilakukan dengan asumsi bahwa konsumen media digital masa kini tetap sepasif konsumen koran atau televisi di masa lalu ?

Sementara itu mereka nampak baru saja ngeh terhadap makna kehadiran media yang bernama blog. Dalam perbincangan di tengah acara Pesta Blogger 2008, salah satu wartawannya mengungkapkan bahwa kelompok media itu semula menyepelekan eksistensi blog. Kini mereka baru bergegas meluncurkan versi beta situs Kompasiana, blog network-nya, untuk menfasilitasi dialog antara jurnalis dan para pembacanya.

Layanan baru ini nampak dilakukan secara skittish, atau kurang cong dalam bahasa orang Solo pasaran. Sebagai seseorang yang menyukai olah komedi dan berniat membuat satir bagi ulah pejabat-pejabat kita yang diliput dalam pemberitaan atau nampang dalam iklan-iklan politiknya di Kompas, saya merasa menabrak dinding. Ketika membaca persyaratan untuk menjadi penyumbang tulisan dalam jaringan blog itu pagi-pagi sudah muncul caveat gawat : dilarang memposting tulisan-tulisan yang berupa satir.

Mungkin masih dalam status beta, nampak baru segelintir saja wartawan Kompas yang mau ngeblog. Jadi Anda jangan berharap dulu adanya spesialisasi subjek tulisan, hal yang imperatif di media digital, dari para wartawan bersangkutan. Jangan bayangkan akan ada wartawan/blogger seperti Susan Gunelius atau Susan M. Heathfield dari kelompok koran The New York Times yang ambil spesialisasi tentang blog. Atau Daniel Kurtzman tentang humor politik. Atau Jon Fine dengan blognya yang khusus membahas media di situs majalah Business Weeks.

Ikhtiar meluncurkan fasilitas blog network itu boleh jadi malah berpeluang besar untuk gagal. Minimal tidak maksimal. Merujuk pendapat Jeffrey Veen dalam artikelnya “Why Content Management Fails,” kegagalan itu akibat dari keengganan banyak orang untuk mengubah cara kerja mereka. Utamanya justru terjadi untuk para pekerja ilmu pengetahuan. Tentu saja, dalam konteks ini adalah para wartawan.

Menurutnya, para pekerja ilmu pengetahuan (knowledge worker) itu selama bertahun-tahun telah mengasah strategi untuk menyempurnakan pelaksanaan pekerjaan mereka, praktek yang mereka lakukan bahkan sejak berada di bangku kuliah. Sehingga usaha untuk merubah proses bersangkutan, seberapa pun valid solusi teknis yang ditawarkan, hampir menjadi tidak mungkin. Mereka akan memberontak, walau setelah menjalani pelatihan sekali pun.


Imperium yang cerai-berai. Kapal induk media yang besar itu memang memerlukan tenaga besar dan waktu yang tidak sedikit untuk mampu mengubah arah pelayarannya. Dinosaurus itu sedang berjuang mempertahankan hidupnya, yang harus ditebus dengan pengorbanan besar. Karena suatu saat kelak harus mau mengamputasi sebagian besar dari tubuh dan jiwanya. Itulah tuntutan logis dari jaman yang baru pula.

Dekan Sekolah Jurnalistik dari Universitas California di Berkeley, Orville Schell, mengatakan bahwa “imperium Roma media massa kini tercerai-berai, dan kita akan memasuki periode masa feudal di mana akan semakin banyak lagi pusat-pusat kekuatan dan pengaruh.”

Jon Fine dalam blognya (12/7/2007) pernah menulis artikel provokatif mengenai tiga kubu jenis koran Amerika yang pertama kali akan mematikan koran edisi cetaknya. Dalam diskusi, seorang pembaca “Barbara Vickroy” menyarankan agar insan surat kabar mampu berpikir di luar kotak agar mereka bisa bertahan.

Sementara pembaca bernama “Jojo” lebih tajam analisisnya. Ia tegaskan bahwa problem pokok dari insan-insan surat kabar itu karena mereka terpatok ke masa lalu dan tidak memiliki visi atau pemahaman yang konkrit mengenai Internet. Itulah sebabnya mereka tidak mampu bermigrasi dan meraup keuntungan dari Internet.

Kita saksikan sepuluh tahun terakhir ini, dengan hanya memasang akhiran dotcom pada nama koran untuk media online mereka, lalu mendigitalkan begitu saja kandungan informasi yang ada, lalu dianggaplah selesai eksplorasi mereka di dunia digital. Tak aneh bila pendekatan semacam ini terancam tidak membuahkan apa-apa. Tidak memperoleh sukses di medan digital, sementara media atomnya, media kertas itu, makin tergerus oleh perubahan jaman.

Lenyapnya surat kabar kelak, sang media oligarki itu, akan menjanjikan jaman baru. Era digital, seperti kata David Amano, memang membuat segalanya serba balik jungkir. “Dengan media blog, pandangan saya terhadap komunitas dan orang-orang yang bisa saya akses jadi balik jungkir. Media digital memperbesar apa yang kita katakan. Media digital lebih membuka pilihan bagi kita. Media digital memberi kita kendali.


Media digital ibarat karcis untuk bisa melongoki belakang panggung, untuk memperoleh akses dan perkawanan dengan merek atau individu yang tak pernah sedekat ini sebelumnya. Media digital membuka berlangsungnya koneksi, akses dan hubungan. Semua itu sungguh manusiawi adanya.”

Panggilan digital yang manusiawi itu tidak setiap insan media mampu mendengarnya. Kecuali barangkali Dan Gillmor, sebagai contoh. Ia memutuskan meninggalkan San Jose Mercury News karena jurnalisme yang ia minati berada di luar kapasitas koran tempat ia selama ini bekerja. Ia kini dikenal sebagai salah satu bapak jurnalisme warga.

Alasan hengkang serupa juga dilakukan oleh mitra pendiri situs WashingtonPost.com, Mark Potts. Ia malah meluncurkan media hyper local yang isinya disumbangkan oleh para pembacanya.

Apakah berita besar mengenai bangkrutnya kelompok koran Tribune Co. di Amerika Serikat itu juga mampu memperkeras dering panggilan digital di gendang telinga para pewarta media arus utama, juga di Indonesia ?

Atau mereka baru loncat dari dek ketika kapal medianya sudah benar-benar miring dan nyaris tenggelam ? Dalam situasi seperti itu, meminjam kata-kata Naisbitt tadi, bahwa apa yang terjadi pada perusahaan surat kabar menjadi tidak lagi menarik.


Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 65/December 2008
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Ketika Tribune Co. Bangkrut Ketika Tribune Co. Bangkrut Reviewed by Ek4zone on Kamis, Januari 29, 2009 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.